

Taipan Indonesia Erick Thohir mendarat di Milano pekan lalu untuk menyelesaikan pengambilalihan salah satu klub tertua dan terbesar Italia, Internazionale. Dia mengakuisisi 70 persen kepemilikan klub dari Massimo Moratti, yang menghabiskan 18 tahun sebagai presiden klub dengan biaya 1,16 miliar euro dan mempersembahkan 16 gelar.
Tak dapat dimungkiri kalau masyarakat Italia merasa malu kalau salah satu klub terbesar mereka diakuisisi oleh seorang pengusaha muda yang berasal dari salah satu negara berkembang dunia. Jadi, cara mereka menanggapinya adalah dengan meledek sang pemilik baru. Persis seperti cara orang-orang Italia memperlakukan teman-teman mereka.
Hanya butuh waktu singkat (mungkin hanya dalam beberapa jam) bagi orang-orang Italia untuk memberi julukan kepada Thohir: E.T (dari inisial namanya) atau Psy, karena kemiripannya dengan penyanyi populer asal Korea Selatan.
Salah satu program radio terkenal, "Tutti Convocati", menggunakan tawa Thohir dalam jingle mereka, sedangkan kemunculan pengusaha Indonesia itu di televisi disambut dengan rasa penasaran dan kemudian tak berapa lama muncul hasrat yang tulus.
Tentu saja anekdot masih menghiasi halaman surat kabar sepakbola dalam beberapa hari terakhir. Seperti kutipan Thohir yang menyebutkan Nicola Ventola sebagai pemain favoritnya, tip wah sebesar 120 euro (atau sebenarnya 30 euro?) di Inter Store di Milano, serta tak ketinggalan selorohnya soal bursa transfer. "[Lionel] Messi? Tentu saja, saya akan membahasnya dengan manajemen…!"
Satu hal yang membuat saya heran adalah betapa sedikitnya perhatian terhadap ucapan Thohir kepada para petinggi Serie A. Pengusaha Indonesia ini mengatakan kalau Serie A pernah menjadi liga paling populer di dunia, tetapi sekarang tertinggal dari Liga Primer Inggris. Butuh kerja sama untuk mempopulerkan lagi sepakbola Italia.
Ucapan itu merupakan seruan yang sangat sahih agar sepakbola Italia bersatu, bukannya tercerai-berai seperti sekarang ini sehingga klub-klub Italia keteteran berlaga di kompetisi Eropa serta hak siar Serie A tak lagi sebesar 10-15 tahun lalu terutama jika dibandingkan dengan Liga Primer Inggris.
Thohir mesti memahami, perbandingannya antara sepakbola Italia dan model bisnis olahraga di Amerika Serikat adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan sangat hati-hati mengingat dampak budaya sepakbola terhadap masyarakat Italia.
Orang-orang di Amerika Serikat biasanya menonton olahraga untuk hiburan dan sering berpindah-pindah olahraga atau tim dengan mudahnya. Masyarakat Italia terobsesi dengan tim yang mereka dukung. "Calcio" menjadi bagian besar dari hidup mereka dan ketika klub yang dicintai jatuh, rasa cinta dalam sekejap berubah menjadi kecaman pedas.
Ada bukti Thohir tidak hendak menjadikan Inter mainan barunya, yaitu dengan tidak menghabiskan dana untuk belanja pemain. Dia justru mempertimbangkan dengan serius investasi pada merek klub, stadion baru, serta sistem pembinaan usia muda. Berbeda dengan yang dilakukan sejumlah pebisnis asal Rusia beberapa tahun terakhir.
Namun, Thohir juga mesti sadar, memiliki Inter berarti harus menanggung banyak permintaan suporter dan media. Apalagi mereka baru tiga tahun lalu merebut trofi Liga Champions. Inter dan Thohir tidak perlu memenangi lagi Liga Champions dalam beberapa tahun ke depan, tapi mereka harus membuktikan diri sanggup bersaing secara reguler dengan menjadi lawan sebanding bagi Juventus di Serie A serta tampil dengan penuh kehormatan di Eropa.
Menyinggung Juventus, Thohir punya kesamaan dengan presiden Andrea Agnelli, figur muda lain yang paham betul pentingnya menyelaraskan sepakbola dengan bisnis. Dengan Barbara Berlusconi secara de-facto memimpin manajemen AC Milan dalam waktu dekat, serta AS Roma ditangani pengusaha Amerika Serikat, dan Udinese memiliki jaringan multinasional (dengan kepemilikan Keluarga Pozzo di klub-klub Inggris dan Spanyol), kita bisa meramalkan munculnya generasi baru direksi klub-klub Italia. Mudah-mudahan ini dapat mengangkat Serie A keluar dari "masa kegelapan" yang sedang dialami.
"Masa lalu sudah lewat," ujar Thohir ketika ditanyakan perihal Calciopoli. Ucapan ini mungkin yang paling ingin didengar oleh publik Italia, tapi butuh seorang "E.T" dari Indonesia untuk mengucapkannya. Begitu dia sepenuhnya paham dengan planet yang sedang dipijakinya saat ini, mari berharap Thohir dapat menjadi elemen mengejutkan yang mengangkat sepakbola Italia serta bisnisnya menuju periode baru, yaitu masa "Pencerahan".
No comments:
Post a Comment